bismillahirrahmanirrahim
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Kamis, 31 Maret 2011

diary tiara

Tiara kecelakaan, dan dia ninggalin kita.”
Kata-kata Dara barusan membuat Rendy terhenyak, antara percaya dan tidak. Ia tertegun sebentar, berharap berita itu hanya isengan Dara dan Tiara yang kerap ngerjain dirinya. Tapi… haruskah Rendy berpikir demikian? Sedang air mata Dara jelas menunjukan rasa kehilangan terlampau besar. Perlahan, isakan Dara mulai terdengar. Rendy mengamati siluet wajah Dara. Segera cowok itu menundukan kepalanya dalam diam. Kedua kelopak matanya terasa berat. Ada yang mendesak ingin keluar dari mata indah itu, tapi Rendy berusaha menahannya.
Waktu Tiara di rumah sakit, dia meminta untuk nggak ngasih tau kamu. Biar kamu lebih fokus ke festival… dan aku sama sekali nggak bisa nolak permintaan itu. Maafin aku Ren…” Jelas Dara terbata-bata.
Rendy berusaha menenangkan Dara, meskipun suasana hatinya mulai terasa kacau. Kali ini Rendy tak mampu lagi menahan butiran-butiran kristal itu. Kedua pipinya mulai basah.
Sesaat Rendy dan Dara terdiam, membiarkan memori tentang Tiara bermain di benak mereka. Tiara yang bawel, lucu, penuh perhatian dan cantik. Tiara yang selalu memberi solusi saat masalah menerpa pribadi Rendy maupun Dara, Tiara yang… akh, semakin diingat semakin tak sanggup otak mereka mengulangnya. Sosok itu sudah tak ada lagi, selamanya!
Usai dapat mengendalikan diri, Dara pamit. Tapi sebelumnya, gadis berambut panjang itu memberikan sesuatu pada Rendy. Sebuah diary berwarna biru–warna favorit Dara.
Tiara nitip ini untuk kamu.”
***
Malam menjatuhkan jubah hitamnya.
Rendy masih mematung di jendela kamarnya, menikmati ribuan bintang yang berkedip manja di langit Bandung. Bayangan Tiara berkelebat di benaknya. Rendy tahu, gadis itu sangat mengagumi bintang, dan Tiara nggak sekalipun membiarkan malam tanpa menyaksikan parodi bintang-bintang.
Tiap malam, kalo nggak mendung, aku pasti curhat-curhatan sama bintang-bintang,” kata Tiara suatu malam saat bertiga mereka ngobrol di taman depan rumah Dara.
Oh ya? Curhat apa saja?” tanya Rendy penasaran.
Mmm… secret!”
Tapi aku tau lho…” celetuk Dara.
Huss, jangan ngebongkar hal yang nggak perlu begitu.” Tiara melotot.
Dara tertawa kecil, Tiara pun mengimbanginya dengan tawa lebar. Lantas keduanya mengumbar gelak tawa. Rendy tersenyum mengingatnya. Ada rindu yang menyergapnya begitu saja.
Rendy menutup jendela kamar dan mengenjot langkah menuju meja belajar. Tangannya meraih diary biru yang menggeletak, dan mendekapnya hangat. Diary ini untukku, ya ini pemberian terakhirnya. Perlahan, Rendy membuka lembar demi lembar. Isinya kisah biasa, cerita tentang kisah-kisah lucu mereka, dirinya, Dara dan Tiara. Rendy menyemat senyum sebentar.
Rendy terkejut saat mendapati tulisan lain Tiara, Tiara naksir seseorang tapi dia nggak pernah ngomong ke aku? Penasaran mengiring Rendy menelusuri lembar-lembar berikutnya, tak ada petunjuk hingga meninggalkan lembar terakhir.
Bedroom, 230808
Hai Diary-ku,
Aku lagi kangen banget nich sama “dia” hehehehe… tapi Dara bilang, aku nggak boleh cengeng. Iya juga sich, “dia” kan lagi berjuang keras di Jakarta, demi masa depannya dan juga band-nya. Aku senang akhirnya band-nya tampil juga di festival itu. Apalagi mewakili Bandung. Pasti pendukungya banyak. Aku nggak mau ganggu kosentrasinya. Hmmm…. Diary, lama-lama aku ngerasa makin sayang sama dia. Tapi aku nggak bisa ngungkapin semuanya. Aku hanya berani ngomong semuanya ke bintang, soalnya aku takut kalo Rendy tau aku suka sama dia, dia akan benci dan ninggalin aku. Persahabatan buat aku lebih sejati…
No! ini nggak mungkin.
Tiara suka sama aku?
Mendadak jantung Rendy berdegup nggak karuan. Tiara bercerita detil di halaman terakhir diary-nya ini setelah dua hari Rendy berangkat ke Jakarta, tepat sehari sebelum kecelakaan itu. Tiba-tiba rasa sedih menyergap hati Rendy, membuat cowok itu memohon kepasrahannya–Tuhan aku mohon kembalikan Tiara. Permohonan konyol itu hanya tak akan pernah terwujud. Tiara tak akan pernah kembali.
Rendy menangis dalam diam, menggenggam diary dengan rasa kehilangan. Tiara sudah pergi… pergi dengan membawa sepenggal rasa yang sejujurnya bisa dirasakannya. Rendy menyesal, tak sempat mengungkapkannya sebelum gadis itu pergi. Dan kini…

sosok sebuah jendela

Aku nggak tahu, akhir-akhir ini aku kerap termangu sendiri menatap jendela tiraiku. Bentuknya unik, menarik, bergaya ghotic dengan aksen warna biru jingga (wah… warna apa pula tuh!), dipadu lagi dengan view yang tampak dari jendela, sebuah panorama yang lumayan menarik, padang rumput yang luas menghijau plus sebuah pondok yang kira-kira lima kali lebih kecil dari villa yang sedang kutempati ini.
Bukan itu saja motivasi utamaku betah berlama-lama di jendela lantai dua, namun sosok cantik dengan baju biru–yang seakan sepadan dengan warna jendela, menarik perhatianku. Meski nggak secantik Mischa Barton, atau Penelope Cruz sekalipun, namun menatapnya membuatku nyaman. Sosok itu sering hadir di taman pondok.
Nyaris dua minggu sudah aku menginjakkan kaki di villa ini, villa baru yang dibeli Mama karena berhasil menerima award dari sebuah perusahaan marketing multilevel yang diikutinya. Kebetulan liburan akhir semesterku masih tersisa, kuluangkan saja untuk nyantai di villa. Pemandangan gunung, barisan sawah, lekukan sungai, ternak, kerbau sepertinya cocok untukku. Sekaligus menjauhkan kejenuhan mataku terhadap kota yang begitu bising, penuh polusi, dan keramaian yang terkadang bagiku memuakkan.
Penasaranku makin mencuat saat aku mendapati sosoknya kembali pagi ini. Aku bergegas menuju balkon untuk melihat lebih jelas wajah sosok itu. Derit langkahku melaju dan kini berdiri tepat menghadang. Aku setengah kelimpungan mencari sosok itu yang hilang beberapa menit.
Tiga menit berlalu aku kembali melihatnya berdiri, menyandar dinding pondok. Ia duduk termangu dengan topangan dagu. Entah apa yang terjadi. Mungkin ia sedang memikirkan sesuatu. Tadi kulihat jelas ia ceria–meski itu kesimpulan pribadi, dengan lenggokan gaya yang manis.
Aku berniat untuk menyambangi pondok kecil di tengah pemandangan indah sawah. Dengan jiwa yang berapi-api aku mengatur langkah. Memakan waktu lima menit sebelum akhirnya aku menyaksikan dengan dekat keadaan pondok. Wah… lingkungan pondok yang kulihat begitu manis, ternyata sedikit nggak keurus. Mungkin jarak yang begitu jauh menyamarkan pandangan atau mungkin saja sawah, sungai dan bukit pegunungan sekitar sengaja menutupi kekurangan dari pondok ini, hingga nggak terdeteksi mataku.
Aku menggeleng heran. Saat kakiku selangkah lebih dekat ke pondok itu, nggak kudapati dirinya. Mungkin ia sudah berlalu masuk ke dalam pondok sejak tadi, aku berspekulasi. Aku memang kurang beruntung kali ini. “Aku harus bertemu dengannya,” janjiku kemudian dalam hati. Mungkin besok? Lusa? Atau sebentar… lah. Yup! benar, aku mesti lebih cepat.
***
Dua hari sejak kedatanganku itu, nggak pernah sekalipun diriku menjumpai sosoknya dari balik jendelaku. Mungkin waktu yang salah, hingga penantianku berbuah nihil. Lelah juga bila seharian terus kutunggu, mending enakan makan atau nyantai apalah…. Lagipula tinggal sehari liburanku di sini. Bertengger di balik jendela bukanlah solusi yang tepat untuk saat ini.
“Kenapa? Bengong?”
Mang Diman–penjaga Villa keluargaku, mengagetkan lamunan aku. Aku kembali menatapnya setengah kagok. Diam-diam Mang Diman memperhatikan keadaan aku akhir-akhir ini. Keseringan bengong sendiri, pasti menarik perhatian orang lain.
Jelas yang membuatku bengong nggak lain, sosok itu. Aku benar-benar nggak sabar dan mulai sigap kuungkapkan apa yang kualami dua minggu lebih ini. Mang Diman mengangguk-angguk sok ngerti saat kuceritakan semua. Ia tampak gagu mendadak saat kuceritakan bahwa aku kemarin berani mengunjungi pondok mungil itu.
“Pondok itu nggak berpenghuni lagi sejak tujuh bulan lalu. Menurut warga sini, seorang wanita pemilik pondok itu hilang begitu saja. Warga sekitar pun nggak tau kejadian yang sebenarnya,” cerita Mang Diman.
Aku terkesiap. Dan desahanku bermain fluktuasi, pantas saja sosok itu sering menghilang tiba-tiba.
“Barangkali yang kau lihat, warga sekitar yang kebetulan istirahat atau…”
Masa bodoh dengan omongan Mang Diman, sebab kini napasku makin memburu nggak karuan.
The end

cerpen "ARTI PERSAHABATAN"

Misha sinkap kembali tabir ingatannya. Sharon. Manis nama itu, semanis orangnya. Dialah kawan karib Misha yang selalu diingatannya. Sudah enam tahun mereka mengenali antara satu sama lain. Kegembiraan dan keperitan hidup di alam remaja mereka melalui bersama. Tetapi semua itu hanya tinggal kenangan sahaja. Misha kehilangan seorang sahabat yang tidak ada kalang-gantinya.

Peristiwa itu berlaku dua tahun yang lalu. Sewaktu itu mereka sedang berada di kantin sekolah. Misha sedang marahkan Sharon kerana mengambil pena kesukaannya tanpa izinya dan menghilangkannya.

Apabila Misha bertanya, dia hanya berkata yang dia akan menggantikannya. Misha tidak mahu dia menggantikannya. Kerana pena yang hilangtu berlainan dengan pena yang akan diganti oleh Sharon. Pena yang hilang itu adalah hadiah daripada Sharon sewaktu mereka pertama kali menjadi sepasang kawan karib.

"Aku tak mahu kau menggantikannya! Pena yang hilangtu berharga bagiku! Misha memarahi Sharon." " Selagi kau tak jumpa penatu, selagi itulah aku tak akan bercakap dengan kau!" Marahnya Misha pada Sharon. Meja kantintu di hentaknya dengan kuat hingga terkejut Sharon. Misha yang mukanya memang kemerah-merahan, bila marah bertambahlah merahlah mukanya. Sharon dengan keadaan sedih dan terkejut hanya berdiamkan diri lalu beredar dari situ. Misha tahu Sharon berasa sedih mendengar kata-katanya itu. Misha tidak berniat hendak melukainya tetapi waktu itu dia terlalu marah dan tanpa dia sedari, mutiara jernih membasahi pipinya.

"Sudah beberapa hari Sharon tidak datang ke sekolah. Aku merasa risau. Adakah dia sakit? Apa yang terjadi" Berkata-kata Misha seorang diri. Benak fikirannya diganggu oleh seribu satu pertanyaan "EH! Aku nak pergi kerumahnyalah" Berbisik Misha di hatinya. Tetapi niatnya berhenti di situ. Dia merasa segan. Tiba-tiba talipon dirumah Misha berbunyi "Ring,riiiiiiiing,riiiiiiiiing,riiiiiiiing"Ibu Misha yang menjawab panggilan itu."Misha, oh, Misha "Teriak ibunya. "Cepat, salin baju. Kita pergi rumah Sharon ada sesuatu berlaku. Kakaknya Sharon talipon suruh kita pergi rumahnya sekarang jugak" Suara ibu Misha tergesa-gesa menyuruh anak daranya cepat bersiap. Tiba-tiba jantung Misha bergerak laju. Tak pernah dia merasa begitu. Dia rasa tak sedap. Ini mesti ada sesuatu buruk yg berlaku. "Ya Allah, kau tenteramkanlah hatiku. Apapun yang berlaku aku tahu ini semua ujianmu. Ku mohon jauhilah segala perkara yang tak baik berlaku. kau selamatkanlah sahabatku." Berdoa Misha pada Allah sepanjang perjalanannya ke rumah Sharon.


Apabila tiba di sana, rumahnya dipenuhi dengan sanak -saudaranya. Misha terus menuju ke ibu Sharon dan bersalaman dengan ibunya dan bertanya apa sebenarnya yang telah berlaku. Ibunya dengan nada sedih memberitahu Misha yang Sharon dilanggar lori sewaktu menyeberang jalan berdekatan dengan sekolahnya." Dia memang tidak sihat tapi dia berdegil nak ke sekolah. Katanya nak jumpa engkau. Tapi hajatnya tak sampai. Sampai di saat dia menghembuskan nafasnya, kakaknya yang ada disisinya ternampak sampul surat masa ada dia gengam ditangannya" terisak-isak suara ibu Sharon menceritakan pada Misha sambil menghulurkan surat yang Sharon beriya-iya sangat ingin memberikannya pada sahabatnya.

Didalam sampul surat itu terdapat pena kesukaanku. Disitu juga terdapat notadaripadnya.


MISHA SHARMIN,
AKU MINTA MAAAF KERANA MEMBUAT KAU MARAH KERANA TELAH MENGHILANGKAN PENA KESUKAANMU. SELEPAS ENGKAU MEMARAHI AKU, AKU PULANG DARI SEKOLAH SEWAKTU HUJAN LEBAT KERANA INGIN MENCARI PENAMU.DI RUMAH AKU TAK JUMPA.TAPI AKU TAK PUTUS ASA DAN CUBA MENGINGATINYA DAN AKU TERINGAT, PENATU ADA DI MEJA SCIENCE LAB . ITUPUN AGAK LAMBAT AKU INGIN KESEKOLAH KERANA BADANKU TAK SIHAT TAPI DENGAN BANTUAN SITI DIA TOLONG CARIKAN. PENATU SITI JUMPA DIBAWAH MEJAMU. TERIMA KASIH KERANA TELAH MENGHARGAI PEMBERIANKU DAN PERSAHABATAN YANG TERJALIN SELAMA SETAHUN. TERIMA KASIH SEKALI LAGI KERANA SELAMA INI MENGAJARKU TENTENG ERTI PERSAHABATAN.

SHARON OSMAN.

Kolam mata Misha dipenuhi mutiara jernih yang akhirnya jatuh berlinangan dengan derasnya.Kalau boleh ingin dia meraung sekuat hatinya. Ingin dia memeluk tubuh Sharon dan memohon maaf padanya tapi apakan daya semuanya dah terlambat. Mayat Sharon masih di hospital. Tiba-tiba dentuman guruh mengejutkan Misha daripada lamunan. Barulah dia sedar bahawa dia hanya mengenangkan kisah silam. Persahabatan mereka lebih berharga daripada pena itu. Misha benar-benar menyesal dengan perbuatannya. Dia berjanji tak akan membenarkan peristiwa ini berulang kembali. Semenjak itu Misha rajin bersolat dan selesai solat dia akan membaca al quran dan berdoa dan bersedekahkan ayat-ayat al quran kepada sahabatnya. Dengan cara ini sahajalah yang dapat Misha balas balik jasanya Sharon dan mengeratkan persahabatanya. Semoga dengan kalam Allah Sharon akan bahagia di alam baza.